Rancakmedia.com – Memang, kinerja kepemilikan analis saham emiten keuangan lebih buruk daripada saham bank digital. Namun, beberapa dari multi-saham ini mencapai kinerja yang sangat mulus. Dalam 3 bulan terakhir, misalnya, saham PT Fuji Finance Indonesia Tbk (FUJI) meningkat 67,83%.
Diikuti oleh saham PT KDB Tifa Finance Tbk (TIFA), yang masing-masing tumbuh 98,23% dalam tiga bulan. Pada periode yang sama BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) juga naik 27,38%, diikuti oleh 79,49% saham PT Indomobil Multi Jasa Tbk (IMJS).
Apalagi, dalam tiga bulan terakhir, saham PT Radana Bhaskara Finance Tbk (HDFA) naik 68,70%. Di sisi lain, banyak saham emiten multifungsi yang kinerjanya juga berkinerja negatif.
Seperti saham PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) yang turun 5,23 persen selama tiga bulan terakhir, PT Intan Baruprana Finance Tbk (IBFN) turun 64,16 persen, dan PT Batabia Prosperindo Finance Tbk (BPFI) turun 0,4 persen selama periode tersebut tiga bulan terakhir.
Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetyo, Head of Equity Trading MNC, mengatakan emiten multifinance cenderung tertinggal dibandingkan penyertaan modal kecil dan menengah lainnya, terutama saham mini bank.
Hal ini wajar menurut Frankie, karena banyak investor menyukai saham dengan sentimen kuat, khususnya minibank yang berbicara tentang digitalisasi dan merger atau dilekati oleh perusahaan e-commerce besar.
Dia mengatakan sebagian besar saham multifinansial masih cenderung lesu seiring dengan pemulihan ekonomi. “Situasi ini dikhawatirkan meningkatkan rasio multifungsi NPL, karena pinjaman tahun sebelumnya buruk,” katanya, menghubungi Kontan.co.id Senin (13/9).
Selain itu, perusahaan multifinance selama ini lebih berkonsentrasi pada penyaluran kredit konsumtif. Tidak adanya perasaan bahwa industri keuangan mendukung selama epidemi ini juga menyebabkan kinerja saham keuangan lesu.
PPnBM dianggap sebagai salah satu pendorong positif skema pengurangan pajak penjualan multisektor untuk produk mewah. “Sentimen insentif pajak kendaraan PPnBM tahun ini memang menguntungkan, khususnya di industri multifinance otomotif seperti misalnya BFIN dan IMJS,” katanya.
Frankie menambahkan, relaksasi PPnBM dapat mendorong peningkatan saham kedua emiten tersebut. Pada paruh pertama tahun 2021, IMJS secara keseluruhan menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1,96 triliun dalam laporan keuangannya, turun 8,45 persen dari pendapatannya sebesar Rp 2,13 triliun pada periode yang sama tahun 2020.
Dengan demikian, IMJS mengantongi laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik lini induk sebesar Rp 25,48 miliar. Realitanya, emiten tersebut merugi Rp 13,12 miliar pada semester I tahun lalu.
Begitu pula dengan laba bersih BFIN yang tumbuh menjadi Rp 487,43 miliar pada semester pertama tahun ini, tumbuh 46,79% per tahun.
Beberapa emiten multifungsi seperti FUJI dan TIFA juga mengalami kenaikan laba bersih. “Kenaikan ini antara lain karena aktivitas perusahaan untuk TIFA,” katanya.
Laba tahun berjalan TIFA tercatat sebesar Rp 15,73 miliar pada semester I tahun ini atau naik dari Rp 13,87 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Frankie menyatakan di sektor ini bahwa pelaku pasar perlu memperhatikan likuiditas ekuitasnya dan memilih persediaan dengan likuiditas yang cukup baik.
Investor tidak hanya dapat memeriksa kinerja dan kesehatan keuangan emiten di bidang bisnis utama pembiayaan. Dia menyatakan, saham BFIN dan IMJS dapat menjadi pertimbangan pelaku pasar.
Karena kedua saham ini sudah menyatu, maka BFIN bisa masuk Rp. 1.000 dengan target Rp. 1.200, sedangkan IMJS boleh masuk Rp. 550 dengan target Rp. 700.
Kesimpulan
Kinerja kepemilikan saham emiten keuangan lebih buruk daripada saham bank digital. Namun, beberapa dari multi-saham ini mencapai kinerja yang sangat mulus. Perusahaan multifinance selama ini lebih berkonsentrasi pada pinjaman konsumtif.