Rancakmedia.com – Berikut ini adalah penjelasan mengenai literasi informasi yang mana kini penggunaan literasi informasi dalam pendidikan di Indonesia masih merupakan perjalanan yang panjang dan berliku.
Pendidikan formal di sekolah harus memasukkan pengertian literasi informasi yang menjadi fokus penelitian ini. Sejarah pengertian literasi informasi, serta definisinya, model dalam pengembangan, dan contoh aktual penggunaannya, semuanya tercakup secara rinci.
Artikel ini menjelaskan manfaat pendidikan dari penerapan literasi informasi di sekolah, serta taktik dan hambatan yang terkait dengan melakukannya.
Pengertian Literasi Informasi
Istilah literasi informasi (IL) berbeda dengan gagasan literasi dan informasi konvensional. Literasi dalam arti luas mencakup semua aspek literasi, termasuk tindakan membaca dan menulis.
Ketika kita menggunakan istilah “informasi”, kita berarti sesuatu yang telah dikomunikasikan atau sepotong pengetahuan yang telah diperoleh (The Concise Oxford Dictionary, 1990).
Literasi adalah terjemahan kata bahasa Indonesia yang umum untuk istilah bahasa Inggris “literacy”. Dari beberapa bahan referensi seperti kamus dan tesaurus yang ada, beberapa diantaranya adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Badudu-Zain tahun 2001, Ensiklopedia Bahasa Indonesia Jilid 1 tahun 2009, dan Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko tahun 2007, tidak ada satupun yang mencantumkan kata “literasi” di kumpulan entri mereka.
Jika kamu mencari definisi kata-kata yang memiliki arti yang sama dengan “huruf” dan “kemampuan membaca dan menulis”, maka istilah yang mungkin digunakan adalah literasi dan literasi (Kamus Umum Bahasa Indonesia: Badudu-Zain, 2001).
Istilah “literasi” termasuk dalam Kamus Melayu Nusantara, yang merupakan hasil kerja sama tiga negara, antara lain Brunei, Indonesia, dan Malaysia, pada tahun 2003, dan dirilis oleh Dewan Bahasa dan Perpustakaan Brunei di Bandar Seri Begawan.
Literasi didefinisikan di Brunei dan Malaysia sebagai literasi mampu menulis dan membaca. Dalam pemaparannya, penulis mendapatkan informasi dari Prof.
Sulistyo Basuki yang menyebutkan bahwa istilah “literasi” sudah disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4. Akibatnya, istilah “literasi informasi” kini menjadi bagian dari leksikon bahasa Indonesia.
Informasi, jika ditinjau dari definisi istilah dalam Ensiklopedia Bahasa Indonesia (2009), menunjukkan bahwa informasi merupakan garis besar. Pengertian informare/informatum berarti memberi bentuk, menggambarkan.
Selain itu disebutkan pula bahwa dalam penggunaan umum, semacam pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung, melalui studi, melalui pertanyaan, atau melalui membaca sumber informasi, seperti buku, jadwal, atau teleteks.
Istilah literasi informasi digunakan dalam publikasi UNESCO yang menyediakan beberapa sumber literasi informasi dari berbagai negara.
Sejak Paul G. Zurkowski menciptakan frasa “literasi informasi” pada tahun 1974, kata tersebut telah diterima secara luas.
Zurkowski (Presiden Asosiasi Industri Informasi) merekomendasikan bahwa tujuan utama dari program nasional Komisi Nasional AS untuk Perpustakaan dan Ilmu Informasi adalah meluncurkan program yang signifikan untuk mencapai literasi informasi universal pada tahun 1984.
Karena banyaknya informasi, mungkin sulit bagi orang untuk memahami semuanya. Dengan memahami bahwa kemampuan setiap individu untuk mencari informasi bervariasi dari segi waktu dan keragaman informasi yang dapat diakses, ada celah bagi masyarakat untuk tidak dapat memanfaatkan informasi dengan pemahaman yang baik dan maksimal.
Lebih lanjut, Zurkowski berpendapat bahwa mereka yang terampil dalam memanfaatkan sumber informasi dalam pekerjaan mereka dapat disebut melek informasi. Ada juga definisi yang berbeda dari literasi informasi berkembang. Dalam publikasinya, George (2013) menunjukkan bahwa:
Literasi informasi adalah kumpulan kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber untuk memecahkan masalah atau membuat pilihan untuk tujuan akademis atau non-akademik, dan kemudian mengkomunikasikan pengetahuan baru ini secara efisien, efektif, dan cara etis.
Pemahaman dan penerapan literasi informasi dimulai dengan kegiatan membaca di perpustakaan. Belajar membaca adalah langkah awal dalam perjalanan pendidikan anak. Perkenalkan mereka ke alfabet dari A sampai Z dengan memulai dengan huruf pertama dari setiap kata.
Pelajaran ini ditujukan untuk siswa di sekolah dasar sekolah. Bahkan sekarang, sebagian besar instruktur taman kanak-kanak juga telah mengajari anak-anak mereka yang masih kecil untuk membaca.
Untuk membaca, anak-anak pertama-tama harus belajar mengidentifikasi dan menggabungkan huruf-huruf individual, dan kemudian maju ke membaca seluruh kata dan memahami artinya.
Arti dari sebuah frase, kemudian sebuah paragraf, dan akhirnya tema-tema kunci dari sebuah dongeng disampaikan kata demi kata.
Ketika para siswa ini unggul dalam membaca, itu berfungsi sebagai motivasi bagi mereka untuk terus bekerja dengan sangat baik. Melalui proses ini, individu meningkatkan kemampuan membaca mereka. Secara tidak langsung, anak-anak juga memperoleh makna dari apa yang mereka baca.
Untuk memulainya, koleksi buku perpustakaan sekolah dimanfaatkan dengan baik. Kemampuan siswa untuk mempertahankan dan mensintesis konsep dan ide dari teks yang mereka baca meningkat seiring waktu saat mereka terlibat dalam kegiatan membaca.
Antusiasme siswa untuk membaca mungkin berkembang sebagai hasil dari pendekatan ini. Karena pentingnya mengembangkan kecintaan membaca pada anak-anak sejak usia dini, proses ini sangat penting dalam mengajarkan mereka keterampilan seperti literasi media dan bentuk literasi informasi lainnya.
Langkah selanjutnya dari pendidikan mereka akan jauh lebih berhasil jika mereka memiliki tingkat melek huruf ini. Siswa dapat meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Tidak ada batasan pada apa yang bisa mereka baca.
Mengingat hal ini, perpustakaan juga harus mampu memenuhi preferensi membaca siswa dari segala usia. Inilah dasar pemikiran di balik keberadaan perpustakaan.
Orang masih memiliki gambaran mental yang kuat tentang perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku. Keanekaragaman buku dalam koleksi perpustakaan semakin berkembang seiring dengan pertumbuhan sistem perpustakaan itu sendiri.
Mari kita telaah bagaimana kehadiran perpustakaan pada awalnya seperti ini kemudian berubah seiring dengan pergeseran fungsi pustakawan dan perkembangan teknologi informasi.
Untuk memulai, mari kita perhatikan tiga peran yang muncul dari deskripsi Shera (1972 dalam Ray, 2001:30) tentang “dapur” perpustakaan, yaitu:
- Bibliographer – orang yang bertanggung jawab untuk memilih buku dan bahan lain untuk penambahan koleksi perpustakaan.
- Perpustakaan referensi – orang yang menyediakan informasi yang dibutuhkan pengguna perpustakaan.
- Katalogisasi.
Ketiga peran ini terkesan kaku dan jauh dari pemakainya. Jelas bahwa kontak antara pustakawan dan pengguna hanya terjadi dalam kapasitas pustakawan referensi. Namun, katalog perpustakaan dapat berfungsi sebagai media untuk jenis komunikasi yang lebih tidak langsung.
Ini adalah niat pustakawan bahwa katalog yang disiapkan akan membantu pengguna menemukan buku yang dia cari.
Namun, bahkan teknik ini tidak sempurna karena pengguna perlu mengetahui cara memanfaatkan katalog perpustakaan. Upaya merancang program pengenalan perpustakaan atau pengajaran perpustakaan telah berkembang.
Branch dan Gilchrist (dalam Andretta, 2005:6) menyatakan bahwa pada tahun 1970-an, Association of Colleges and Research Libraries (ACRL) mendefinisikan pendidikan perpustakaan sebagai menawarkan arahan bagi individu dan kelompok dalam mengakses materi dan sumber daya dan dalam memahami alat bantu belajar.
Namun, menurut Branch dan Gilchrist, ruang lingkup pendidikan pengguna terbatas pada penyajian item perpustakaan dan interpretasi perangkat pembelajaran, dan bukan pada perolehan atau pemilihan informasi dalam konteks pembelajaran.
Lebih lanjut Mellon (1988 dalam Andretta, 2005:6-7) berpendapat bahwa tantangan dalam menerapkan pendidikan pengguna konvensional adalah bahwa penekanan kegiatan ini terutama pada kegiatan perpustakaan, yang memerlukan penggunaan fasilitas informasi, dan bukan pada tugas-tugas yang lebih rumit.
Dalam pencarian informasi. berdasarkan kemampuan menilai dan berpikir kritis. Cakupan ini gagal memotivasi anak-anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Dengan perkembangan teknologi pada tahun 1990-an, ACRL kemudian mengubah deskripsi perpustakaan instruksi ini menjadi perangkat lunak yang menyampaikan instruksi bibliografi melalui pendekatan berbeda yang memungkinkan pengguna menjadi melek informasi (Mellon 1988 dalam Andretta, 2005: 7).
Model – Model Literasi Informasi
Literasi informasi sebagai sebuah konsep telah berkembang pesat sejak pertama kali diusulkan kembali pada tahun 1974.
Jelas dari perkembangan ini bahwa negara yang berbeda telah mengambil pendekatan yang berbeda untuk memahami IL. Sebagian besar model literasi informasi yang sudah mapan adalah untuk diterapkan pada siswa di sekolah.
Hal ini berbeda dengan apa yang disebut oleh Zurkowski sebagai “konteks pekerja” dalam pembahasannya.
Hal ini menggambarkan kesadaran bahwa siswa perlu dibekali kemampuan untuk memecahkan masalah secara sistematis sejak usia dini, sehingga mereka siap menjadi profesional yang melek informasi di masa depan dunia kerja.
Penulis membawa dua model Wol untuk acara ini di Malaysia selama acara pelatihan literasi informasi yang penulis hadiri. Lima model yang berbeda akan diperiksa secara rinci dalam paragraf berikut, masing-masing dengan deskripsi khasnya sendiri. Kelima model tersebut adalah:
British Model
British Model (Wools, 2006) adalah sebuah model yang pertama dikembangkan pada tahun 1981 oleh Michael Marland dalam bukunya Information Skills in the Secondary Curriculum (Wools,2006:1). Model ini adalah yang pertama kali muncul setelah pertama kali dicetuskan konsepnya pada tahun 1974.
Tepat tiga tahun dari target yang ditetapkan Zurkowski dalam usulannya untuk mencapai literasi informasi universal di Amerika. Konsep ini diterapkan di ruang kelas dan disebut “keterampilan informasi”.
Berikut ini adalah sembilan tahapan dalam British Model untuk menyelesaikan suatu masalah:
- Memformulasikan dan menganalisa kebutuhan
- Mengidentifikasi dan memeriksa sumber-sumber informasi
- Menelusur dan menemukan sumber-sumber individu
- Menguji, memilih sumber-sumber informasi
- Mengintegrasikan sumber-sumber informasi tersebut
- Menyimpan dan mensortir informasi
- Menginterpretasikan, menganalisa, mensintesiskan dan mengevaluasi informasi
- Mempresentasikan atau mengkomunikasikan informasi dan
- Mengevaluasi.
Big 6™ (Wools, 2006)
The Big 6TM adalah sebuah konsep literasi informasi yang didirikan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz di Amerika Serikat pada tahun 1988.
Konsep ini cukup populer tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara lain yang telah mengakui perlunya mengadopsi informasi literasi dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Eisenberg dan Berkowitz juga aktif dan konsisten memasarkan dengan menerbitkan artikel-artikel yang relevan bagi pembacanya. Eisenberg dan Berkowitz, Konsep ini banyak digunakan di sekolah-sekolah lanjutan di Indonesia sebagai bagian dari kurikulum literasi informasi mereka.
Dibandingkan dengan model lain, juga cukup mudah untuk mendapatkan informasi tentang yang satu ini di internet.
Oleh karena itu, model Eisenberg dan Berkowitz dapat dengan mudah diperbarui melalui internet oleh mereka yang menggunakannya. Dengan demikian, penggunaannya juga mendapatkan popularitas.
Apalagi penemu model ini telah menghasilkan model dasar untuk anak-anak di sekolah dasar untuk memudahkan mereka membangun kemampuan literasi informasi mereka sejak usia dini.
Pendekatan ini dikenal sebagai “Super3,” yang merupakan singkatan dari “Plan, Do, Review.” Sejauh ini, hanya satu model yang dirancang khusus untuk anak-anak di sekolah dasar.
Model Big 6™ memiliki enam langkah:
- Penentuan tugas atau masalah
- Strategi pencarian informasi
- Pencarian sumber informasi yang diperlukan
- Pemanfaatan informasi yang sudah diperoleh
- Pengintegrasian informasi yang diperoleh dari sumber-sembert tersebut
- Pengevaluasian terhadap hasil informasi yang diperoleh dan proses pemecahan masalahnya.
Empowering 8 (Wijetunge & Alahakoon, 2005:14)
Pada tahun 2004, sebuah modul yang khusus dibuat untuk kepentingan orang Asia telah dirumuskan dalam pertemuan Lokakarya Internasional tentang Keterampilan Informasi untuk Pembelajaran yang diadakan oleh IFLA/ALP dan NILIS di Universitas Kolombo, Sri Lanka.
Model yang dihasilkan oleh peserta dari negara-negara Asia diberi nama Empowering 8 dan dianggap sebagai model yang baik untuk digunakan di negara-negara Asia. Delapan langkah tersebut adalah:
- Mengidentifikasi masalah
- Mengeksplorasi sumber informasi
- Memilih sumber informasi
- Menyusun informasi yang diperoleh
- Menciptakan sebuah pengetahuan baru dari informasi yang terkumpul sebagai jawaban dari masalah
- Mempresentasikan pengetahuan baru yang sudah tercipta
- Memberi penilaian terhadap pengetahuan baru tersebut
- Mengaplikasikan pengetahuan baru tersebut.
Knowledge Management (Diao Ai Lien et.al, 2007)
Di Indonesia, telah terbentuk model baru bernama Seven Steps of Knowledge Management yang didirikan oleh Diao Ai Lien dan rekan-rekannya dari Universitas Atmajaya, Jakarta pada tahun 2007.
Paradigma ini merupakan perpaduan antara Big 6TM dan Empowering 8 dengan menambah kapasitas menjadi 8 dari Empowering 8 ke Big 6TM (Diao Ai Lien et al., 2007:6).
Strategi ini dimaksudkan untuk membantu mahasiswa dalam menyelesaikan tugas penelitiannya di kampus. Dengan target user tertentu ini, pada tahap mencipta, tindakan yang jelas dilakukan adalah menulis, artinya menulis hasil karya studi dan skripsi mereka.
Tujuh tahap model ini adalah sebagai berikut:
- Merumuskan masalah
- Mengidentifikasi dan mengakses informasi
- Mengevaluasi sumber informasi dan informasi
- Menggunakan informasi
- Menciptakan karya
- Mengevaluasi karya
- Menarik pelajaran
Skema dan Aplikasi Media and information Literacy
Ketika UNESCO pertama kali tiba di Indonesia, ia membawa definisi literasi media yang lebih luas: (MIL). UNESO merilis makalah pada tahun 2011 berjudul “Kurikulum Literasi Media dan Informasi untuk Guru”, yang menjadi bahan lokakarya di Depok.
Masalah media dan informasi dijelaskan dengan baik dalam teks ini, meskipun tidak begitu jelas di mana masing-masing ditempatkan. Ini adalah kekhawatiran yang sah, mengingat hanya satu bab dari laporan akhir yang membahas masalah informasi literasi dan mengakibatkan kurangnya pemahaman.
Ketika berbicara tentang demokrasi dan pemerintahan yang baik, kami di UNESCO berusaha untuk menjelaskan peran literasi media dan literasi informasi dari perspektif pustakawan, yang memasukkan media dalam definisi literasi informasi.
Skema Aplikasi dan Konsep Media and Information Literacy
Dari pendekatan ini, fase-fase literasi informasi dapat didefinisikan dalam suatu siklus yang terdiri dari enam langkah, yaitu:
Need (Kebutuhan Informasi)
Pada tahap pertama ini, kebutuhan adalah kata benda, bukan kata kerja, karena merupakan aspek inheren dari keberadaan manusia yang tidak disebabkan oleh atau dilakukan oleh orang.
Hal ini berpengaruh pada perkembangannya, yang tidak bertumpu pada suatu usaha tetapi pada suatu keadaan yang terjadi sebagai akibat dari keberadaan manusia.
Misalnya, kebutuhan dasar manusia akan pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Sama seperti bagaimana kebutuhan informasi manusia telah muncul.
Dalam kehidupan pribadi, permintaan informasi sering dikaitkan dengan masalah yang harus ditangani. Siswa, misalnya, membutuhkan informasi untuk menyelesaikan tugas tertulis atau tugas akhir di sekolah.
Melengkapi materi yang akan diberikan kepada mahasiswa oleh dosennya berarti mengumpulkan informasi. Karena itu, dia akan terjebak di antara orang-orang selama sisa hari-harinya.
Bukan karena ia mencari kebutuhan, melainkan karena kebutuhan itu datang dengan sendirinya secara berulang-ulang.
Tuntutan ini lebih terkait dengan adanya aspek pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan formal dalam ranah pendidikan dan pekerjaan.
Access (Akses informasi)
Segera setelah seseorang memahami bahwa mereka membutuhkan lebih banyak informasi, langkah logis berikutnya adalah mengakses data tersebut, yang merupakan kata kerja yang menunjukkan informasi aktif.
Akses informasi dilakukan ketika seseorang menentukan kemana ia harus pergi dalam upaya memenuhi tuntutan informasinya.
Akses informasi datang ketika dia membuka laptopnya dan mengakses file “perpustakaan digital”, atau ketika dia pergi ke rak buku di koleksinya sendiri, atau ketika dia pergi ke perpustakaan.
Sebagai kata kerja, informasi “akses” berarti “masuk” atau “pergi ke”.
Locate (Penelusuran)
Fase tindakan aktif berikutnya ketika dia berada di sumber informasi adalah menemukan informasi yang dia butuhkan. Di perpustakaan, misalnya, ia akan aktif mencari informasi yang relevan dengan kebutuhannya.
Dia adalah contoh yang baik dalam hal ini. Katalog perpustakaan akan menunjukkan kepadanya berbagai bahan yang menyediakan informasi yang dia butuhkan.
Dia mungkin menemukan sebuah film, lima buku, dan tiga jurnal yang memberikan informasi terkait dengan masalah yang ingin dia tangani. Langkah selanjutnya adalah penyelarasan, yang akan terjadi setelah ini (sintesis).
Synthesize (Penyelarasan)
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu untuk menggabungkan atau menyelaraskan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber. Berpikir kritis sangat penting pada level ini.
Dia perlu menganalisis apakah semua informasi yang dia peroleh adalah apa yang dia butuhkan. Selain itu, dia perlu menggunakan pemikiran kritis untuk mempelajari proses pengumpulan informasi yang dia butuhkan.
Create (Penciptaan)
Pada tahap pembuatan, kamu mencari solusi untuk masalah yang telah kamu tangani. Bentuk ciptaan itu sendiri dapat berubah tergantung pada kebutuhan seseorang. Dalam pendidikan formal, banyak produksi berlangsung dalam bentuk karya tulis.
Terlihat pada bagan MIL di atas bagaimana orang secara aktif berkontribusi pada demokrasi dan pemerintahan yang baik dengan berbagi ide dan menyuarakan pendapat mereka di depan umum.
Evaluate (Pengevaluasian)
Langkah terakhir dari siklus ini adalah evaluasi. Penilaian yang dilakukan melibatkan dua bagian, yaitu fitur proses menemukan solusi atas kesulitan yang dihadapi, dari tahap NEED to CREATE dan evaluasi konten, artinya evaluasi hasil atau jawaban itu sendiri.
Mengapa penilaian ini penting dan harus ada? Tanggapannya adalah siklus literasi informasi ini akan terus berputar, dan solusi dari masalah yang dijawab akan disimpan dan menghasilkan pengetahuan baru bagi seseorang.
Evaluasi memungkinkan perbaikan proses “kesalahan” serta penyempurnaan tanggapan, dan di sinilah proses belajar seseorang bersandar. Proses pembelajaran ini akan terus berlanjut karena manusia akan terus memiliki tuntutan informasi sepanjang hidupnya.
Siklus Literasi Informasi
Apa keuntungan memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik?
Dalam kampanye literasi informasi yang dilakukan oleh APISI pada tahun 2006, muncul berbagai jawaban yang menyatakan bahwa gagasan ini bukanlah konsep baru tetapi tidak diakui oleh para pendidik di sekolah.
Berdasarkan komentar ini, tampaknya mengembangkan atau menerapkan literasi informasi tidak memerlukan “itu”.
APISI menemukan bahwa literasi informasi tidak dilaksanakan secara konsisten dan sistematis, berdasarkan banyak pengamatan dan studi.
Temuan Lokakarya Internasional Literasi Informasi yang disponsori oleh APISI pada tahun 2008 menunjukkan beban materi yang sangat besar yang harus diselesaikan oleh lembaga pembimbing dalam suatu masa kegiatan belajar mengajar.
Karena itu, para profesor terdesak waktu, sehingga mereka ‘menyuap’ murid-muridnya untuk mencatat dan mempertahankan pengajaran.
Tentu saja ini jauh dari kondisi ideal penerapan literasi informasi yang menempatkan siswa sebagai pemecah masalah dengan memanfaatkan sumber informasi.
Kurikulum sekolah nasional berupaya menjadikan siswa pembelajar sepanjang hayat. Jika pola pengajaran di sekolah tetap seperti metode bicara dan kapur, maka tujuan ini hanya akan menjadi angan-angan.
Itulah sebabnya pemahaman tentang penggunaan literasi informasi secara terstruktur dan terintegrasi dalam kurikulum dapat membantu siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Kefasihan generasi muda dalam menggunakan perangkat informasi dan komunikasi seperti komputer, handphone, dan Blackberry, yang memiliki koneksi internet yang kemudian memudahkan akses berbagai jenis informasi dari perangkat tersebut, telah menciptakan fenomena baru dalam gaya hidup anak muda.
Bagi Godwin (2008:5), generasi ini hanya disebut sebagai “generasi web” atau “generasi Google”. Berbeda dengan generasi sebelumnya, misalnya, generasi yang bergantung pada fungsi barang elektronik secara manual, generasi Google saat ini sangat mahir dalam memanfaatkan teknologi informasi yang terpasang (online).
Mereka akan segera menggunakan gadget dan mencari tahu fungsi peralatan mana yang dapat digunakan.
Ada beberapa hal yang perlu diingat jika kamu ingin anak kamu tumbuh menjadi jagoan digital. Saat memanfaatkan internet, setiap orang dapat dengan mudah memposting berbagai informasi di dalamnya.
Di dunia maya, mereka memiliki kebebasan untuk berbagi pemikiran dan kreasi mereka. Setelah informasi diposting, tidak ada entitas yang secara tegas bertanggung jawab untuk memperbarui atau menyaring informasi.
Keadaan inilah yang harus diwaspadai oleh orang tua atau guru, karena menurut Godwin (2008), generasi Google memandang segala sesuatu yang dipublikasikan dan ditampilkan di web sebagai fakta, dan pencarian tunggal seperti Amazon dan Google dapat membawa kesenangan yang cepat.
Perilaku mendapatkan informasi yang telah ditemukan juga layak untuk dipelajari. Generasi Google ini, menurut Godwin, tidak memperdulikan etika dalam penggunaan materi dari sumber-sumber tersebut karena mereka tidak mengerti atau tidak peduli (Godwin, 2008; 6).
Banyak karyawan tidak menyadari bahwa memotong dan menempelkan informasi ke dalam suatu informasi memerlukan pemrosesan lebih lanjut sebelum dapat digunakan secara efektif.
Perilaku generasi Google yang digambarkan Godwin menuntut perhatian orang tua di rumah dan pengajar di sekolah dalam kegiatan belajarnya. Anak-anak harus diajari sejak dini untuk menghormati pekerjaan orang lain dan jujur dengan informasi yang mereka pelajari.
Keterampilan menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara etis merupakan salah satu rangkaian keterampilan literasi informasi. Perilaku generasi Google, sebagaimana diuraikan sebelumnya, mengharuskan perlunya mengajarkan literasi informasi secara keseluruhan.
Setelah menyaksikan bagaimana teknologi berdampak pada siswa sehingga mereka membutuhkan kemampuan literasi informasi, Farmer & Henri (2008) juga mendemonstrasikan bagaimana literasi informasi memengaruhi aktivitas membaca siswa.
Mengintegrasikan dan merancang bersama literasi informasi ke dalam kegiatan akademik tidak hanya meningkatkan pemahaman membaca siswa, tetapi juga meningkatkan keterampilan belajar dan hasil penelitian mereka.
Keaksaraan siswa dalam pendidikan pasca sekolah menengah lebih besar bagi mereka yang telah diajarkan literasi informasi di sekolah menengah dibandingkan dengan kelompok yang terakhir.
Dengan demikian, kemampuan literasi informasi yang melekat pada diri siswa tidak hanya akan mengantarkan keberhasilan dalam pendidikan formal mereka, tetapi juga akan membekali mereka secara otomatis ketika mereka menjadi anggota masyarakat.
Untuk memecahkan masalah dan membuat penilaian, mereka menggunakan berbagai informasi. Akhirnya, setelah mereka menguasai dasar-dasar literasi informasi, mereka akan mengembangkan mindset berkembang yang memungkinkan mereka untuk terus belajar sepanjang hidup mereka.
LISA (Literasi Informasi Santa Angela)
Idealnya, penggunaan literasi informasi dimasukkan ke dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Perpustakaan sekolah menyediakan program untuk meningkatkan keterampilan literasi informasi bagi anak-anak. Kemampuan tersebut selanjutnya dimanfaatkan oleh siswa dalam bentuk tugas-tugas dalam materi pelajaran yang dipelajari.
Salah satu SMA di Bandung yang mendapat penghargaan ‘A’ oleh Perpustakaan Nasional RI pada tahun 2010 menyelenggarakan program perpustakaan tahunan untuk siswa kelas 7 sampai 9. Tingkat kedewasaan siswa dipertimbangkan saat membuat materi pendidikan.
Kegiatan perpustakaan yang direncanakan dan dilakukan oleh perpustakaan sepanjang tahun adalah:
- Library skills.
- Membaca bebas.
- Membuat sinopsi buku.
- Membuat synopsis majalah.
- Menonton film.
Siswa kemudian menggunakan kemampuan yang diperoleh dalam kegiatan program perpustakaan di berbagai bidang, termasuk Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Biologi, Sejarah, dan Olahraga.
Pengajar topik menawarkan pekerjaan rumah kepada siswa untuk dilakukan dengan memanfaatkan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan sekolah mereka.
Selain buku dan sumber informasi lainnya, siswa memanfaatkan internet ketika mengunjungi perpustakaan setelah menerima tugas.
Mereka mengumpulkan informasi dari internet dan buku, membuat catatan, dan menyelesaikan tugas mereka. Model program perpustakaan dan kegiatan belajar mengajar diilustrasikan pada grafik di bawah ini.
Model LISA oleh Hanna C. George, 2013
Melengkapi informasi mengikuti langkah-langkah yang tercantum di bawah ini, yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan siklus literasi informasi:
- Need à Tugas yang diberikan oleh guru
- Locate à Pencarian informasi yang dilakukan secara terpadu baik itu internet, buku, majalah maupun film. Hal ini tidak terbatas pada informasi yang tersedia di perpustakaan, melainkan para siswa dapat mencari di berbagai sumber-sumber informasi lainnya
- Access à Pengumpulan informasi yang dibutuhkan dari beragam sumber
- Synthesis à Penyelarasan informasi untuk membentuk sebuah jawaban atau gambaran dari tugas yang diberikan
- Create à Pemanfaatan informasi, saat siswa menuangkan temuannya dalam bentuk yang diinginkan, misalnya essay, jawab atas pertanyaan soal maupun bentuk hasil karya/prakarya
- Evaluate à Pengevaluasian hasil, yang biasanya dalam bentuk nilai. Aspek evaluasi yang jarang atau belum umum dilakukan adalah evaluasi proses perolehan jawaban atas tugas yang diberikan.
Karena siswa lebih suka melakukan penelitian online, perpustakaan harus fokus pada pengajaran mereka bagaimana menggunakan koneksi internet perpustakaan sendiri secara efektif untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Dengan demikian, model LISA ini menjadi LISA Pattern, seperti terlihat di bawah ini:
Pola LISA oleh Hanna C George, 2013
Jelas dari pola LISA bahwa program literasi informasi perpustakaan sekolah dapat memainkan peran utama dalam berbagai topik pendidikan.
Tantangan dan Strategi Penerapan Literasi Informasi di Sekolah
Pola LISA di atas belum tentu dapat diterapkan di semua sekolah untuk mengajarkan literasi informasi. Penggunaan informasi sangat bergantung pada konteks, tergantung pada sejauh mana organisasi induk, perpustakaan, dan kegiatan pendidikan semuanya dapat bekerja sama.
Masalah implementasi ini berasal dari luar dan dalam perpustakaan. Kesulitan dari luar adalah bagaimana pemangku kepentingan di sekolah melihat pustakawan dan perpustakaan sekolah.
Semakin terbuka program perpustakaan dapat dilakukan, semakin baik mereka akan menganggap peran pustakawan sekolah dan perpustakaan dalam membantu kegiatan pendidikan.
Namun, jika mereka terus mempromosikan karyawan bermasalah ke posisi pustakawan, pendidikan pendidikan sekolah akan terancam. Dukungan akan terasa kurang dan pertumbuhan dukungan fisik dan program juga akan tertunda. Pustakawan sendiri menimbulkan ancaman dari dalam. Sangat penting bagi pustakawan untuk menyadari bahwa karir mereka penting.
Alih-alih mengandalkan bagaimana orang lain melihat profesinya, kesadaran profesional pustakawan harus mampu ‘memberi label’, atau mengidentifikasi, pentingnya pekerjaannya agar mampu memberikan layanan yang memberikan pengaruh positif terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah dengan percaya diri.
Kemajuan pustakawan sekolah terhambat oleh kurangnya kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif, mengadvokasi, atau memiliki kepercayaan diri.
Belum ada konsensus atau pemahaman di antara pustakawan dan praktisi sekolah tentang bagaimana model harus diterapkan dan digunakan, seperti yang Pendit et al.
(2013) ditunjukkan dalam studi mereka di Bali. Selain itu, belum ada standar literasi informasi yang dirancang untuk diterapkan di Indonesia. Perpustakaan dan instruktur pustakawan masih mengembangkan perannya, dan ini membutuhkan waktu dan uang, serta bantuan administrasi sekolah.
Pendekatan implementasi dalam pola LISA di atas adalah dengan membangun program yang berkelanjutan dan menyadarkan sekolah bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari kegiatan belajar siswa yang benar-benar akan meningkatkan hasil belajar mereka.
Mengembangkan fungsi perpustakaan di lembaga induknya memerlukan pendekatan strategis yang dimulai dengan membangun keberadaan perpustakaan dan membangun jaringan orang-orang yang dapat berbagi informasi.
Kesimpulan
Penggunaan literasi informasi dalam pendidikan di Indonesia masih merupakan perjalanan yang panjang dan berliku. Kesiapan tenaga perpustakaan, sarana prasarana, dan sumber daya (pustakawan sekolah) masih menjadi dua hal yang belum merata dan menyeluruh dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Komponen kunci lain yang tidak boleh dilupakan adalah kegemaran membaca bagi siswa, yang masih harus terus dibina dan dibina. Pustakawan juga penting dalam bertindak terhadap pertumbuhan teknologi informasi yang berdampak pada ketersediaan informasi di banyak media.
Ini juga harus menjadi peluang bagaimana perpustakaan memiliki peran yang lebih dari sekedar menyimpan dan memberikan informasi. Tingkat pendidikan suatu sekolah harus diperhatikan melalui perpustakaan dan pustakawannya.